Dalam sebuah diskusi
yang diadakan Radio Sindo Trijaya FM minggu lalu Wakil Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaya Purnama (alias Ahok) yang
menjadi panelis, menyatakan bahwa untuk membangun sebuah Jakarta baru tidak bisa
dilakukan oleh pemerintah dan aparat provinsi
DKI Jakarta saja. Membangun Jakarta baru juga membutuhkan dukungan dan
sinergi dari pemerintah daerah disekitarnya.
Memang, untuk
mewujudkan Jakarta baru butuh penataan yang serius. Apalagi hingga kepemimpinan
Jokowi-Ahok dua problem dasar DKI Jakarta yakni Kemacetan, Kepadatan populasi
penduduk, Banjir, Kebersihan, Polusi udara, Ketersediaan Fasilitas publik yang
belum memadai, kesenjangan sosial, Pelayanan publik dari aparatur yang sangat
kompleks akibat birokrasi yang berbelit-belit dan lain sebagainya belum dapat
diatasi secara tuntas.
Permasalahan tersebut bisa dikatakan
sudah menjadi bagian hidup dari masyarakat Jakarta yang cenderung pasrah dengan
keadaan tersebut dan menjadikannya sebagai resiko telah menjadi bagian dari
kota metropolitan. Namun keadaan ini tidak bisa juga dikatakan bahwa masyarakat
Jakarta sudah bisa menerima kenyataan dengan segala permasalahan yang kerap
dihadapinya setiap hari.
Berbagai hambatan, baik
secara teknik maupun struktural, kerap menghalangi keinginan gubernur dan wakil
gubernur untuk membenahi Jakarta. Namun, sesungguhnya bukan saja dukungan dari
pemerintah daerah sekitar Jakarta seperti Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi
yang dibutuhkan untuk membangun Jakarta, melainkan juga dukungan dari berbagai
lembaga yang memiliki keterkaitan dengan urusan ibukota seperti MPR/DPR, Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), dan pemerintah pusat (Presiden beserta
menteri-menterinya). Dukungan seluruh stakeholder
Jakarta itulah yang dibutuhkan guna membangun Jakarta baru.
Sinergi antara
pemerintah daerah dan DKI Jakarta dan pemerintah pusat sebuah keniscayaan dalam
membangun Jakarta. Presiden dan gubernur DKI Jakarta harus memiliki visi dan
pandangan yang sama soal Jakarta yang baru. Mantan gubernur DKI Jakarta, Ali
Sadikin yang terkenal dengan ketegasan dan ide-ide kreatifnya tentang Jakarta
itu saja selalu saja mengatakan kepada masyarakat bahwa dirinya hanya
menjalankan apa yang menjadi kebijakan dan impian presiden Soekarno tentang
Jakarta.
Para wakil rakyat,
terutama anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan perwakilan
daerah, seharusnya berperan dalam membangun Jakarta tentu saja sesuai tugas dan
kewenangannya. Apalagi kewenangan lebih besar yang diberikan untuk DPD periode
mendatang salah satunya bersama-sama DPR menyusun APBN dan Undang-Undang
desentralisasi dan pemerintahan daerah, bagi masyarakat, merupakan sebuah
kesempatan yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi anggota DPD. Salah
satu hal yang dapat dilakukan DPD adalah bagaima memperjuangkan anggaran untuk
daerah-daerah di sekitar DKI Jakarta.
Sampai saat ini
perbandingan anggaran Jakarta dan daerah sekitar masih sangat timpang. Pada
tahun anggaran 2014 APBD DKI Jakarta disahkan sebesar Rp.72 triliun. Sementara
APBD Provinsi Jawa Barat tidak sampai sepertiganya, hanya sebesar Rp. 21,6
triliun, dan APBD Provinsi Banten lebih kecil lagi sebesar Rp. 7,3 triliun.
Apalagi untuk tingkat kabupaten/kota pasti lebih kecil lagi anggarannya.
Ketimpangan anggaran yang begitu besar itu dapat menimbulkan kesulitan
tersendiri bagi Jakarta baru.
Mayoritas masyarakat
mendambakan adanya gerakan perubahan yang mengarah kepada pembenahan maupun
penanganan serius dari setiap permasalahan-permasalahan di Jakarta, dan
berharap adanya tindakan nyata dari para aparatur yang memerintah Ibukota
Jakarta yang berimbas kearah yang lebih baik untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
tersebut. Oleh karena itu penduduk Jakarta sangat mendambakan terwujudnya kota
Jakarta yang Baru.
Namun Jakarta Baru yang
seperti apa yang sebenernya sangat didambakan/dibutuhkan penduduknya dan
bagian-bagian mana saja dari kota Jakarta yang bisa menjadi prioritas/fokus
yang harus dibenahi untuk mewujudkan impian tersebut?
Bagi saya, yang disebut
dengan Jakarta baru bukanlah sebuah gambaran tentang kota metropolitan yang
penuh dengan gedung-gedung bertingkat dan kesibukan yang luar biasa seperti
kota New York, Tokyo, ataupun kota-kota besar di dunia lain. Jakarta baru yang
saya bayangkan adalah sebuah kota yang tertata rapi, aman, nyaman dan
manusiawi, serta masyarakat tertib dan disiplin. Sebagai ibukota Negara
Republik Indonesia, Jakarta harus mencerminkan tingkat peradaban masyarakat
yang lebih tinggi yang dapat diperlihatkan oleh tata perilaku masyarakatnya
yang tertib dan disiplin.
Karena itu, yang tidak
kalah penting dari itu semua adalah juga peran dari masyarkat itu sendiri.
Komunitas-komunitas masyarakat yang ada di DKI Jakarta harus dilibatkan untuk
membangun Jakarta baru. Kesadarab masyarakat untuk hidup bersih dan tertib
harus terus ditingkatkan. Hal yang sederhana adalah membuang sampah pada
tempatnya. Saya saksikan dengan mata kepala sendiri saat berkendara di jalan
masih banyak penumpang di dalam mobil membuang sampah seenaknya di jalan raya
melalui jendela mobilnya.
Saya juga mengingatkan
agar pemerintah daerah DKI Jakarta tidak lagi menggunakan cara-cara kekerasan
dalam menangani berbagai masalah sosial di Jakarta. Boleh-boleh saja bersikap
tegas dalam menghadapi para pemukim liar ataupun pedagang kaki lima, tapi
sedapat mungkin jangan memakai cara-cara kekerasan. Memang setiap kebijakan
politik pastilah tidak bisa menguntungkan atau mengenakan semua pihak. Untuk
itu, perlu difikirkan dab direncanakan secara cermat sehingga tidak merugikan
banyak orang, apalagi yang berkaitan dengan rakyat kecil.
Mewujudkan Jakarta baru
butuh kerja keras semua pihak. Perubahan di wajah Jakarta diyakini akan
mengubah wajah Indonesia secara keseluruhan. Untuk itu, kemampuan pemimpin DKI
Jakarta untuk membangun kesadaran semua pihak sehingga mau secara sukarela
bersama-sama membangun ibukota kita yang tercinta ini amat dibutuhkan. Saya
yakin Jokowi-Ahok adalah orang yang tepat untuk mewujudkan Jakarta baru.
Sumber :
Koran Sindo, 1 April 2014 Halaman 10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar