Bumi kita tak lagi
bulat. Teknologi komunikasi telah mengubah bumi kita menjadi datar dan tanpa
sekat. Persoalan jarak, ruang, dan waktu kini tak lagi dianggap sebagai masalah
yang menghambat dalam kegiatan komunikasi antara manusia satu dengan lainnya.
Sebelum era telepon,
cara berkomunikasi jarak jauh hanya melalui surat, atau telegraph.
Sifatnya yang kurang up to date dan bisu kemudian diatasi dengan adanya telepon.
Tak perlu menunggu berhari-hari, berminggu-minggu, atau mungkin berbulan-bulan
untuk mengetahui kondisi sanak yang jauh melalui komunikasi telepon. Telepon
kabel masih kurang nyaman dipakai, munculah telepon genggam yang sifatnya mobile. Belum
cukup dengan telepon, muncul internet. Perkembangan teknologi yang sejatinya
untuk mempermudah komunikasi, kadangkala justru menghambat komunikasi.
Saat ini, siapa tak
kenal komputer, HP, atau internet? Peralatan-peralatan tersebut, dulunya
pertama kali dikembangkan oleh anggota militer di negara-negara Eropa dan
Amerika untuk kepentingan imperialisme. Atau, siapa yang sampai hari ini belum
menggunakan BB, tablet android, atau gadget lain yang didalamnya dilengkapi
dengan akses langsung ke Facebook, Twitter, dan lainnya.
Tapi, di tengah
kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang begitu cepat itu, saya merasa
ada sesuatu perlahan memudar. Sebuah kebiasaan lama dan juga telah dilakukan
orang-orang pada generasi sebelum kita. Suasana percakapan yang dekat, akrab,
dan intim. Ngobrol. Ngobrol. Saya sengaja
menggunakan kata yang satu ini. Mau tau kenapa?
Menurut saya, ngobrol
merupakan jenis komunikasi yang luar biasa. Ngobrol, berarti kegiatan
berkomunikasi yang dilakukan sambil bertatap muka. Semua indera yang terdapat
dalam anggota tubuh bekerjasama mendukung proses ini. Karena bertatap muka,
lisan akan bebas berbicara. Telinga akan dengan baik menerima suara. Mata
melihat bagaimana indahnya lawan bicara menggerakkan bibir dan menunjukkan
berbagaimacam ekspresi di wajah.
Topik obrolannya
bermacam-macam. Setiap orang bebas memilih apa yang akan menjadi bahan
pembicaraannya. Mulai dari persoalan pribadi sampai merembet ke persoalan
tetangga. Atau, persoalan-persoalan sepele sampai kasus besar yang dapat
mengancam hajat hidup orang banyak.
Disini saya akan sedikit
cerita. Dulu, pada saat saya masih duduk di bangku SMP, sebelum kita mengenal
internet dan Handphone yang sudah canggih seperti sekarang ini, kebiasaan anak sekolah setelah jam pelajaran selesai adalah menghabiskan
hari-harinya bersama teman, baik teman bermain ataupun teman seorganisasi, di
angkringan depan sekolah sambil ngobrol. Ya ngobrol, bertatap muka dengan
teman, berbagi cerita , bercanda tawa dll.
Baru-baru ini saya berkumpul
dengan beberapa teman SMP , kemudian saling menyapa, dan berbasa-basi sekedar
ingin tahu kabar karena lama tak bertemu, tetapi hanya cukup sampai di situ
saja ngobrolnya mereka memilih mengeluarkan HP canggih dari saku celana
masing-masing dan segera menghentikan obrolan. Ketak-ketik, berbalas SMS,
update status. Karena sekarang mereka sudah mulai kenal teknologi dan masih
belum siap menggunakannya dengan bijak. Tak kutemui lagi candaan-candaan dengan
teman-teman yang biasanya dilakukan saat dulu.
Begitu juga di
perjalanan pulang-pergi antara Depok-Cikampek. Untuk membunuh rasa bosan saat
melakukan perjalanan selama berada di rangkaian kereta api, sebenarnya saya
ingin berkenalan dengan seseorang yang kebetulan duduk di sebelah, kemudian
ngobrol. Sekedar bertukar pengalaman, dan menjadi teman seperjalanan. Tapi
sial, kesempatan ngobrol dengan teman seperjalanan sama sekali tidak ada. Sejak
kereta diberangkatkan dari Stasiun Pondok Cina, orang-orang di sekitar tempat
duduk saya langsung sibuk mengeluarkan HP nya. Ada yang SMSan, facebookan, atau
sekedar mendengarkan musik melalui earphone sambil mengangguk-angukkan kepala
dan berkomat-kamit bibirnya seperti membaca mantra sakti.
Semua aktifitas itu
mulai berhenti ketika manusia-manusia pada nomer yang dituju, yang tempatnya
entah dibelahan bumi sebelah mana itu tak lagi menjawab panggilan telefon atau
sudah enggan membalas SMS yang diterima. Atau ketika HP dan alat elektronik
mereka berbunyi ‘tut tut’ sebanyak dua kali, dan kemudian semua peralatan
elektronik itu akhirnya mati. Hening. . . Sebagian orang memilih langsung mengambil
posisi tidur. Ada sebagian lagi yang masih menyempatkan diri untuk berbasa-basi
sebentar dengan teman sebangkunya. Ada juga yang memilih diam sambil
menyandarkan pelipisnya pada dinding kereta dan matanya menerawang keluar
jendela. Mungkin sambil menerawang nasibnya. Tapi, tak lama kemudian akhirnya
mendengkur.
Ngobrol itu
bercakap-cakap tanpa bantuan alat, kecuali organ yang ada pada anggota tubuh
kita. Kalo kegiatan bercakap-cakap ini didukung dengan perangkat teknologi
komunikasi, niscaya terminologinya juga akan berubah.
Misalnya, kamu sedang
bercakap-cakap dengan seseorang menggunakan telefon. Maka, semua orang akan
menyebut aktifitas itu ‘menelefon’. Atau, ada seorang mahasiswa sedang iseng di
tengah perkuliahan, mengeluarkan HP lalu SMSan. Bagi yang beruntung punya uang
agak lebih banyak, dia dapat beli BB untuk BBMan. Karena dilengkapi dengan
piranti untuk mengakses internet, alat itu sekaligus bisa dipakai untuk
facebookan dan twitteran. Semuanya dengan embel-embel akhiran ‘an’.
Coba bayangkan, jika
setiap kegiatan komunikasi yang dilakukan seluruh umat manusia itu dibantu
dengan menggunakan alat (HP, telefon, internet, dll). Tentu kita tidak akan
tahu lagi bagaiman ekspresi lawan berbicara ketika bergembira. Indra peraba tak
bisa berempati dengan memegang tangan atau sekedar mengusap bahu ketika
seseorang sedang bersedih.
Disini
saya akan memperlihatkan gambar yang sesuai dengan topic ini :
Digambar tersebut
dijelaskan bahwa setiap kegiatan manusia seperti , saat meminum kopi dengan
teman, saat di pantai , saat bersorak sorak untuk tim, saat saat romantis ,
saat menikmati pemandangan, saat makan malam, manusia lebih nyaman berinteraksi
dengan gadgetnya
dibanding sekelilingnya. Interaksi dalam dunia maya seakan menjadi nyata,
sebaliknya, interaksi dalam dunia nyata hanya angan belaka.
Di gambar tersebut ada
selipan kata-kata yang pernah diungkapkan oleh Albert Eistein, bahwa “Aku takut
pada hari dimana teknologi akan melampaui interaksi manusia. Dunia akan
memiliki generasi yang idiot”. Dan mungkin ungkapan Albert Eistein saat ini
telah terbukti.
Maka dari itu, kita
sebagai pemakai teknologi komunikasi seharusnya lebih cerdik dalam memanfaatkan
teknologi ini. Gunakanlah sebagaimana mestinya. Jangan sampai dengan adanya
teknologi ini hubungan antara manusia secara langsung jadi terabaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar