Minggu, 24 November 2013

Handphone Menghambat Komunikasi Langsung



Bumi kita tak lagi bulat. Teknologi komunikasi telah mengubah bumi kita menjadi datar dan tanpa sekat. Persoalan jarak, ruang, dan waktu kini tak lagi dianggap sebagai masalah yang menghambat dalam kegiatan komunikasi antara manusia satu dengan lainnya.
Sebelum era telepon, cara berkomunikasi jarak jauh hanya melalui surat, atau telegraph. Sifatnya yang kurang up to date dan bisu kemudian diatasi dengan adanya telepon. Tak perlu menunggu berhari-hari, berminggu-minggu, atau mungkin berbulan-bulan untuk mengetahui kondisi sanak yang jauh melalui komunikasi telepon. Telepon kabel masih kurang nyaman dipakai, munculah telepon genggam yang sifatnya mobile. Belum cukup dengan telepon, muncul internet. Perkembangan teknologi yang sejatinya untuk mempermudah komunikasi, kadangkala justru menghambat komunikasi.
Saat ini, siapa tak kenal komputer, HP, atau internet? Peralatan-peralatan tersebut, dulunya pertama kali dikembangkan oleh anggota militer di negara-negara Eropa dan Amerika untuk kepentingan imperialisme. Atau, siapa yang sampai hari ini belum menggunakan BB, tablet android, atau gadget lain yang didalamnya dilengkapi dengan akses langsung ke Facebook, Twitter, dan lainnya.
Tapi, di tengah kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang begitu cepat itu, saya merasa ada sesuatu perlahan memudar. Sebuah kebiasaan lama dan juga telah dilakukan orang-orang pada generasi sebelum kita. Suasana percakapan yang dekat, akrab, dan intim. Ngobrol. Ngobrol. Saya sengaja menggunakan kata yang satu ini. Mau tau kenapa?
Menurut saya, ngobrol merupakan jenis komunikasi yang luar biasa. Ngobrol, berarti kegiatan berkomunikasi yang dilakukan sambil bertatap muka. Semua indera yang terdapat dalam anggota tubuh bekerjasama mendukung proses ini. Karena bertatap muka, lisan akan bebas berbicara. Telinga akan dengan baik menerima suara. Mata melihat bagaimana indahnya lawan bicara menggerakkan bibir dan menunjukkan berbagaimacam ekspresi di wajah.
Topik obrolannya bermacam-macam. Setiap orang bebas memilih apa yang akan menjadi bahan pembicaraannya. Mulai dari persoalan pribadi sampai merembet ke persoalan tetangga. Atau, persoalan-persoalan sepele sampai kasus besar yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak.
Disini saya akan sedikit cerita. Dulu, pada saat saya masih duduk di bangku SMP, sebelum kita mengenal internet dan Handphone yang sudah canggih seperti sekarang ini,  kebiasaan anak sekolah  setelah jam pelajaran selesai adalah menghabiskan hari-harinya bersama teman, baik teman bermain ataupun teman seorganisasi, di angkringan depan sekolah sambil ngobrol. Ya ngobrol, bertatap muka dengan teman, berbagi cerita , bercanda tawa dll.
Baru-baru ini saya berkumpul dengan beberapa teman SMP , kemudian saling menyapa, dan berbasa-basi sekedar ingin tahu kabar karena lama tak bertemu, tetapi hanya cukup sampai di situ saja ngobrolnya mereka memilih mengeluarkan HP canggih dari saku celana masing-masing dan segera menghentikan obrolan. Ketak-ketik, berbalas SMS, update status. Karena sekarang mereka sudah mulai kenal teknologi dan masih belum siap menggunakannya dengan bijak. Tak kutemui lagi candaan-candaan dengan teman-teman yang biasanya dilakukan saat dulu.
Begitu juga di perjalanan pulang-pergi antara Depok-Cikampek. Untuk membunuh rasa bosan saat melakukan perjalanan selama berada di rangkaian kereta api, sebenarnya saya ingin berkenalan dengan seseorang yang kebetulan duduk di sebelah, kemudian ngobrol. Sekedar bertukar pengalaman, dan menjadi teman seperjalanan. Tapi sial, kesempatan ngobrol dengan teman seperjalanan sama sekali tidak ada. Sejak kereta diberangkatkan dari Stasiun Pondok Cina, orang-orang di sekitar tempat duduk saya langsung sibuk mengeluarkan HP nya. Ada yang SMSan, facebookan, atau sekedar mendengarkan musik melalui earphone sambil mengangguk-angukkan kepala dan berkomat-kamit bibirnya seperti membaca mantra sakti.
Semua aktifitas itu mulai berhenti ketika manusia-manusia pada nomer yang dituju, yang tempatnya entah dibelahan bumi sebelah mana itu tak lagi menjawab panggilan telefon atau sudah enggan membalas SMS yang diterima. Atau ketika HP dan alat elektronik mereka berbunyi ‘tut tut’ sebanyak dua kali, dan kemudian semua peralatan elektronik itu akhirnya mati. Hening. . . Sebagian orang memilih langsung mengambil posisi tidur. Ada sebagian lagi yang masih menyempatkan diri untuk berbasa-basi sebentar dengan teman sebangkunya. Ada juga yang memilih diam sambil menyandarkan pelipisnya pada dinding kereta dan matanya menerawang keluar jendela. Mungkin sambil menerawang nasibnya. Tapi, tak lama kemudian akhirnya mendengkur.
Ngobrol itu bercakap-cakap tanpa bantuan alat, kecuali organ yang ada pada anggota tubuh kita. Kalo kegiatan bercakap-cakap ini didukung dengan perangkat teknologi komunikasi, niscaya terminologinya juga akan berubah.
Misalnya, kamu sedang bercakap-cakap dengan seseorang menggunakan telefon. Maka, semua orang akan menyebut aktifitas itu ‘menelefon’. Atau, ada seorang mahasiswa sedang iseng di tengah perkuliahan, mengeluarkan HP lalu SMSan. Bagi yang beruntung punya uang agak lebih banyak, dia dapat beli BB untuk BBMan. Karena dilengkapi dengan piranti untuk mengakses internet, alat itu sekaligus bisa dipakai untuk facebookan dan twitteran. Semuanya dengan embel-embel akhiran ‘an’.
Coba bayangkan, jika setiap kegiatan komunikasi yang dilakukan seluruh umat manusia itu dibantu dengan menggunakan alat (HP, telefon, internet, dll). Tentu kita tidak akan tahu lagi bagaiman ekspresi lawan berbicara ketika bergembira. Indra peraba tak bisa berempati dengan memegang tangan atau sekedar mengusap bahu ketika seseorang sedang bersedih.
            Disini saya akan memperlihatkan gambar yang sesuai dengan topic ini :




Digambar tersebut dijelaskan bahwa setiap kegiatan manusia seperti , saat meminum kopi dengan teman, saat di pantai , saat bersorak sorak untuk tim, saat saat romantis , saat menikmati pemandangan, saat makan malam, manusia lebih nyaman berinteraksi dengan gadgetnya dibanding sekelilingnya. Interaksi dalam dunia maya seakan menjadi nyata, sebaliknya, interaksi dalam dunia nyata hanya angan belaka.
Di gambar tersebut ada selipan kata-kata yang pernah diungkapkan oleh Albert Eistein, bahwa “Aku takut pada hari dimana teknologi akan melampaui interaksi manusia. Dunia akan memiliki generasi yang idiot”. Dan mungkin ungkapan Albert Eistein saat ini telah terbukti.
Maka dari itu, kita sebagai pemakai teknologi komunikasi seharusnya lebih cerdik dalam memanfaatkan teknologi ini. Gunakanlah sebagaimana mestinya. Jangan sampai dengan adanya teknologi ini hubungan antara manusia secara langsung jadi terabaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar